Kamis, 7 November 2024

Pengamat UGM Sarankan Pemerintah Membatasi BBM Bersubsidi Hanya untuk Sepeda Motor dan Angkutan Umum

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Pertamina memberikan promo khusus pembelian Pertalite seharga Premium lewat Program Langit Biru di 211 SPBU bertanda khusus promo PLB, di 11 kabupaten/kota di Jawa Timur. Foto: Pertamina

Fahmy Radhi pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mendorong Pemerintah segera mengatasi masalah penyaluran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk mengamankan APBN Tahun 2023.

Menurutnya, penyelesaian problem penyaluran BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar yang selama ini tidak tepat sasaran bisa menghemat konsumsi sekitar 60 persen.

Dengan begitu, nantinya 60 persen pengguna kendaraan bermotor yang sebetulnya tidak berhak memakai BBM bersubsidi, mau tidak mau beralih ke Pertamax.

“Menurut saya, bisa diatasi dengan pembatasan BBM bersubsidi untuk sepeda motor dan angkutan umum. Sehingga, sekitar 60 persen bisa diselamatkan Pemerintah,” ujarnya kepada wartawan, Selasa (23/8/2022).

Dia menilai, efek kenaikan harga bagi pengguna yang tidak lagi boleh mengkonsumsi BBM bersubsidi bisa dilokalisir. Sehingga, dampak inflasi tidak terlalu tinggi.

Kalau strategi pembatasan berhasil, maka APBN bisa diselamatkan sekaligus mengendalikan inflasi.

“Inflasinya berpengaruh, tapi tidak signifikan. Kalau 60 persen BBM bersubsidi diselamatkan, inflasi bisa 0,5 persen. Asal harga solar tidak naik,” imbuhnya.

Fahmy menambahkan, Joko Widodo Presiden tidak akan menerapkan kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi, karena ancaman inflasi dan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

“Saya tidak yakin Pak Jokowi mau mengorbankan pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai dengan susah payah ini,” ungkapnya.

Kalau kenaikan harga Pertalite menjadi Rp10 ribu per liter dan Solar menjadi Rp8.500 per liter diterapkan bersamaan, dia bilang sudah pasti menyulut inflasi. Bahkan, kenaikan inflasi makanan 2 persen akan mendorong inflasi 5,2 persen year on year.

“Kalau Pertalite dan Solar dinaikkan, kemungkinan inflasi akan menjadi 7,2 persen. Padahal, tahun sebelumnya inflasi Indonesia rendah sekali, hanya 3 persen, dan ini mampu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,4 persen. Itu luar biasa,” jelasnya.

Sementara itu, inflasi 7,2 persen akan mengakibatkan kenaikan harga barang dan memperburuk daya beli masyarakat.

Beban paling berat akan dirasakan rakyat miskin yang tidak pernah menikmati subsidi karena tidak punya kendaraan bermotor.

Maka dari itu, Fahmy menekankan pentingnya Pemerintah mengatasi permasalahan BBM bersubsidi baik jangka pendek dan jangka panjang.

“Atasi dulu masalah jangka pendek, menggelembungnya subsidi, 60 persen diselamatkan. Kalau sudah normal mulai diutak-atik, mungkin Pertalite dinaikkan atau Pertamax diturunkan agar disparitas tidak terlalu tinggi,” katanya.

Untuk jangka panjang, dia menyarankan Pemerintah memangkas disparitas harga BBM bersubsidi dengan non-subsidi kalau situasi sudah normal.

“Kalau nanti kondisi sudah normal, barangkali perlu ada kebijakan harga yang bisa mendekatkan antara Pertalite dan Pertamax. Contoh selisihnya Rp1.500. Sehingga, konsumen Pertalite, bahkan sepeda motor bisa migrasi ke Pertamax,” tutur Fahmy.

Sebelumnya, dua menteri koordinator di Kabinet Indonesia Maju berbeda suara soal rencana Pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.

Luhut Binsar Pandjaitan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan, keputusannya bakal diumumkan Jokowi pekan ini.

Sedangkan Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian menyampaikan belum ada keputusan mengenai kenaikan harga BBM dalam waktu dekat.

Ketua Umum Partai Golkar itu bilang, BBM bersubsidi tidak akan naik pada kuartal ketiga tahun ini.

Sementara itu, Nailul Huda Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan, kalau Pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, sebaiknya dilakukan secara berkala.

Kenaikan harga berkala penting untuk mencegah inflasi tinggi yang kemudian berdampak luas di masyarakat mau pun pertumbuhan ekonomi.

“Apabila opsi menaikkan, kami rasa menaikkan secara gradual lebih tepat daripada naik signifikan,” ucapnya.

Berdasarkan hitungannya, kalau Pertalite naik ke harga Rp8.000, maka inflasi masih berada di 5,5 persen. Kalau naik Rp9.000, inflasi berada di kisaran 6,5-7 persen, dan kalau langsung Rp10.000 per liter, inflasi bisa menembus 8 persen.

“Dengan kenaikan harga Pertalite, itu pasti inflasi cukup tinggi. Dampaknya tinggi, daya beli menurun, juga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan masyarakat miskin baru,” sebut Nailul.

Merujuk keterangan Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan, pendapatan dari pajak cukup positif dan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per Juni juga tumbuh 35,5 persen. Sehingga, itu bisa menambah subsidi BBM.

“Tahun ini masih positif PNBP. Kalau Pemerintah ingin manfaatin uang dari PNBP dan pajak yang kenaikan positif, bisa untuk menambah subsidi BBM. Itu tergantung sekali dengan political will,” sebutnya.

Selain itu, ada opsi realokasi anggaran untuk bisa menambal beban subsidi. Misalnya, anggaran yang kurang urgent seperti food estate, IKN, dan infrastruktur kereta cepat.(rid/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Kamis, 7 November 2024
37o
Kurs